Indonesia
bisa menjadi contoh bagi negara-negara Timur Tengah dalam mengelola keragaman
dan sikap toleran. Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar,
tetapi tidak mendakukan dirinya sebagai negara Islam. Inilah kelebihan Islam
Indonesia yang bersifat toleran dan moderat.
Sejumlah
peristiwa pengeboman beberapa waktu ini, seperti di Amerika Serikat, Turki,
Perancis, ataupun Belgia—yang senantiasa melibatkan penduduk beragama Islam
asal Timur Tengah—menjadi salah satu batu sandungan aktivitas toleransi dan
moderasi Islam di Timur Tengah. Oleh sebab itu, aktivitas toleransi dalam
masyarakat yang beragam sebenarnya benar-benar bisa diharapkan datang dari
Indonesia sebagaimana pernah dikatakan Abdullahi Ahmed An Naim (2015), ahli
hukum Islam asal Sudan.
Sebagai
bangsa yang majemuk, kita harus mampu mengembangkan perbedaan dalam keragaman,
tetapi juga mendukung prinsip pluralisme sekaligus multikulturalisme. Agree in
the diversitymerupakan prinsip berbangsa dalam negara yang multikultur
(pluralistik), seperti Indonesia. Kita tidak perlu jauh-jauh belajar ke Kanada,
Inggris, Swedia, Norwegia, ataupun Swiss kalau sekadar ingin melihat keragaman.
Hal yang bisa diambil sebagai pelajaran dari negara-negara lain adalah
bagaimana mereka mengelola keragaman dalam kondisi dan situasi keadilan.
Kondisi
keadilan hukum, ekonomi, dan partisipasi masyarakat dalam menjaga keragaman
akan memberikan kekuatan yang memadai di Indonesia agar terus berlangsung. Oleh
sebab itu, kita harus saling memiliki sikap percaya kepada semua elemen
masyarakat untuk mendorong harmoni sosial.
Salah satu
model bagaimana mengelola keragaman yang pernah dilakukan di negeri ini
sebenarnya telah banyak dilakukan masyarakat Jawa dan Ambon yang mampu hidup
berdampingan dalam keragaman budaya dan agama. Bagaimana masyarakat Jawa mampu
menghargai kehadiran orang yang bukan Jawa, bukan satu agama, bahkan tidak satu
aliran (mazhab), tetapi bisa berdampingan dalam masyarakat.
Demikian
pula yang dilakukan masyarakat Ambon, yang mampu hidup berdampingan dengan
masyarakat tidak satu agama dan satu etnis. Saat ini yang perlu dilakukan
sebenarnya bagaimana agar kehidupan harmonis masyarakat Jawa dan Ambon, seperti
sebelum reformasi politik terjadi, terus terjaga, bukan harmoni dalam
kepura-puraan.
Masyarakat
perlu didesain (social engineering) agar tetap memiliki daya tahan (resilience)
untuk menghargai, menghormati, serta melangsungkan kehidupan harmoni sosial
tidak dalam kepura-puraan. Hal ini penting karena sering kali harmoni dalam
kepura-puraan akan menciptakan persoalan yang jauh lebih serius daripada
sebelumnya dikelola dan dipersiapkan terlebih dahulu.
Berharap kepada Muhammadiyah dan NU
Di sinilah
tugas pendidik, ustaz, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, dan pemuda menjadi
pilar untuk membangun mentalitas keragaman dalam negara demokrasi. Sebagai
negara yang memiliki kekuatan masyarakat sipil, Indonesia sebenarnya dapat
berharap kepada masyarakat sipil semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU)
untuk mendukung berlangsungnya kehidupan keagamaan, sosial, dan politik yang
stabil.
Muhammadiyah
dan NU bisa diharapkan menumbuhkan budaya toleran dan keagamaan moderat sebagai
bagian dari kultur keagamaan sipil. Keagamaan sipil (civil religion) merupakan
keagamaan yang tidak mengancam, menindas kelompok minoritas, menghadang
keterlibatan sosial keagamaan di masyarakat. Keagamaan sipil itu cenderung
berkultur memilih hidup tenang, damai, dan menyelamatkan pihak lain.
Bahkan,
sekarang ini secara kenegaraan kita bisa berharap kepada Muhammadiyah dan NU
yang telah secara tegas mendukung kehadiran negara Pancasila sebagai dasar
negara, tanpa harus merombak dasar filosofis berbangsa dan bernegara. Karena
itu, hadirnya Muhammadiyah dan NU menjadi penting dalam mendukung keinginan
bangsa ini untuk memiliki mentalitas setia kepada dasar negara, keragaman, dan
memiliki pandangan kenegaraan yang kosmopolitan. Muhammadiyah dan NU telah
sepakat mendorong Indonesia menjadi negara yang mampu hadir dalam kehidupan
global sebagai bagian dari negara-bangsa.
Mungkinkah
kita merawat keragaman sebagai ibu kandung negara ini? Semua akan terletak pada
semua elemen bangsa ini. Bangsa ini harus digerakkan menjadi bangsa yang mampu
menyantuni dirinya sendiri. Bangsa yang mampu menjadi kader bangsa, kader umat,
dan kader kemanusiaan bukan sekadar kader sektarianisme dan gethoisme yang
kadang merusak sendi- sendi berbangsa dan bernegara.
Kita harus
jaga bangsa ini menjadi bangsa yang benar-benar mampu menciptakan harapan baru
oase kehidupan yang lebih sejahtera, mandiri, partisipatif, dan
akuntabilitasnya terjaga. Kita agaknya tidak perlu lagi memperdebatkan tentang
demokrasi yang secara prinsip tidak bertentangan dengan Islam dan agama apa pun
di dunia ini. Bahwa praktik demokrasi masih compang-camping merupakan hal yang
harus dibenahi secara bersama-sama.
Namun, itu
semuanya akan terletak pada kita semua yang menghendaki adanya demokrasi yang
lahir dari rahim bangsa sendiri. Demokrasi yang lahir dari rahim masyarakat
sipil dan ormas keagamaan sebab berharap demokrasi yang sesungguhnya dari
partai politik tampaknya jauh panggang dari api. Namun, nasib demokrasi yang
sesungguhnya akan suram jika masyarakat sipil dan keagamaan sipil perilakunya
tak jauh beda dengan partai politik. Bangsa ini tetap akan jadi pecundang jika
perilaku ormas keagamaan juga bermartabat rendah, menjadi pengemis di hadapan
negara!
Sumber : Zuly
Qodir, Sosiolog Umy, Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta dan lain sebagainya.
0 Comment "Mentalitas Keragaman dan Toleransi "
Post a Comment