Beberapa syarat sahnya shalat diantaranya adalah memakai pakaian yang
suci dari najis, menghadap ke kiblat dan tempat yang suci, boleh saja
seseorang menjalankan shalat ditempat manapun asalkan tempat tersebut
suci dari najis, entah di rumah, di sekolahan, apartemen, kos-kosan dan
lain-lain.
Tetapi ada beberapa tempat yang dikecualikan untuk tidak menjalankan
shalat ditempat tersebut, sebagaimana yang telah di nash dalam sebuah
hadits riwayat dari Ibnu Umar,
أن النبي صلى الله
عليه وسلم نهى أن يصلي في سبع مواطن: المزبلة، والمجزرة، والمقبرة، وقارعة
الطريق، والحمام، ومعاطن الإبل، وفوق ظهر بيت الله تعالى
Sesungguhnya Rasulullah saw melarang menunaikan shalat tujuh
tempat; tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan (hewan), kuburan,
di tengah-tengah jalan, di kamar mandi, di kandang unta dan di
atas(bangunan) ka'bah.
Sedangkan Abu Hatim Ar-Razy melemahkannya dalam kitab ‘Al-Ilal’ karangan anaknya, 1/148. Ibnu Al-Jauzy di Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 1/399. Al-Bushairy di Misbahu Az-Zujajah, 1/95. Al-Hafiz (Ibnu Hajar) dalam At-Talkhis, 1/531-532. Dan Al-Albany dalam Al-Irwa, 1/318.
Dengan demikian, tidak dibenarkan mengambil dalil dari hadits yang lemah ini dalam melarang shalat di tempat-tempat ini. Kecuali (ada) beberapa tempat telah ada ketentuan larangan shalat di tempat (tersebut) berdasarkan hadits lain yang shahih. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, no. 492. Tirmizi, no. 317, Ibnu Majah, no. 745 dari Abi Said Al-Khudri radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاًّ لْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Tanah semuanya adalah masjid melainkan kuburan dan tempat kamar mandi (WC).”
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Sanadnya bagus’, Iqtidha As-Shiratal Mustaqim, hal. 332. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa, 1/320.
Sebagian tempat ini memerlukan pembahasan yang lebih rinci:
1. Tempat Sampah
Yaitu tempat sampah atau tempat pembuangan sampah yang kadang di
dalamnya terdapat najis. Maka dilarang shalat di dalamnya karena (ada)
najisnya. Kalau kita kira tempat itu suci, maka ia termasuk tempat yang
menjijikkan. Tidak layak seorang muslim berdiri menghadap Allah di
tempat tersebut.
2. Tempat Penyembelihan (hewan)
2. Tempat Penyembelihan (hewan)
Yaitu tempat penyembelihan hewan-hewan. Karena tempat itu terkotori dengan najis -seperti darah- dan kotoran-kotoran.
3. Kuburan
3. Kuburan
Yaitu tempat kuburan, dilarang shalat di dalamnya agar terhindar dari
penyembahan terhadap kuburan atau menyerupai orang yang menyembah
kuburan. Dikecualikan dari itu, shalat jenazah yang boleh dilakukan di
dalam area pekuburan. Terdapat riwayat shahih bahwa Nabi sallallahu
alaihi wa sallam shalat mayat di kuburan untuk wanita yang biasa
membersihkan masjid setelah dikebumikan. (HR. Bukhari, no. 460. Muslim,
no. 956)
Termasuk dilarang shalat di dalamnya juga adalah masjid yang dibangun di atas kuburan. Sebagaimana (hadits) mutawatir bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan melarang hal itu.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan para Nabi, orang-orang shaleh, para raja dan lainnya, harus dihilangkan dengan menghancurkan atau dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana saya ketahui tidak ada perbedaan di antara para ulama yang terkenal. Makruh shalat di dalamnya tanpa ada perbedaan, dan tidak sah (shalatnya) menurut pandangan kami. Karena riwayat tentang larangan dan laknat tentang hal itu dan juga karena (ada) hadits-hadits lain.’ (Iqtidha As-Shirat Al-Mustaqim, hal. 330)
Termasuk dilarang shalat di dalamnya juga adalah masjid yang dibangun di atas kuburan. Sebagaimana (hadits) mutawatir bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid dan melarang hal itu.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: ‘Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan para Nabi, orang-orang shaleh, para raja dan lainnya, harus dihilangkan dengan menghancurkan atau dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana saya ketahui tidak ada perbedaan di antara para ulama yang terkenal. Makruh shalat di dalamnya tanpa ada perbedaan, dan tidak sah (shalatnya) menurut pandangan kami. Karena riwayat tentang larangan dan laknat tentang hal itu dan juga karena (ada) hadits-hadits lain.’ (Iqtidha As-Shirat Al-Mustaqim, hal. 330)
4. Tengah Jalan
Yaitu jalan yang dilalui oleh orang. Sedangkan jalan yang tidak terpakai
atau di sisi jalan yang tidak dilalui oleh orang, maka tidak dilarang
(menunaikan) shalat di dalamnya.
Sebab dilarang shalat di tengah jalan karena mempersempit (jalan) orang dan menghalangi lalu lalang serta mengganggu dirinya sehingga menghalangi kesempurnaan shalatnya. Shalat di tengah jalan makruh dan bisa jadi haram jika menghalangi orang lewat atau khawatir menyebabkan dirinya kesulitan atau terjadi kecelakaan atau lainnya.
Dikecualikan dari hal itu, jika ada keperluan atau darurat seperti shalat Jum’at atau Ied di jalan jika masjid telah penuh sesak. Hal ini telah biasa dilakukan oleh umat Islam.
5. Kamar Mandi
Sebab dilarang shalat di tengah jalan karena mempersempit (jalan) orang dan menghalangi lalu lalang serta mengganggu dirinya sehingga menghalangi kesempurnaan shalatnya. Shalat di tengah jalan makruh dan bisa jadi haram jika menghalangi orang lewat atau khawatir menyebabkan dirinya kesulitan atau terjadi kecelakaan atau lainnya.
Dikecualikan dari hal itu, jika ada keperluan atau darurat seperti shalat Jum’at atau Ied di jalan jika masjid telah penuh sesak. Hal ini telah biasa dilakukan oleh umat Islam.
5. Kamar Mandi
Yaitu yang digunakan untuk mandi. Telah ada ketetapan dari Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam tentang larangan shalat di kamar mandi dalam
hadits Abi Said yang lalu. Hal itu menunjukkan batalnya shalat di
dalamnya. Illat (sebab) larangan shalat di dalamnya karena kamar mandi
merupakan tempat tinggal setan dan tempat dibukanya aurat. Yang tampak
dari hadits, bahwa larangan tersebut mencakup semua istilah hammam
(kamar mandi), tidak ada bedanya, apakah tempat tersebut digunakan untuk
mandi (saja) atau (juga) untuk menyimpan pakaian.
Kalau shalat dilarang di kamar mandi, maka larangan shalat di tempat buang air (WC) yaitu tempat membuang kotoran, lebih utama lagi. Tidak adanya (dalil tentang) larangan shalat di WC, karena bagi setiap orang berakal, apabila mendengar Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang shalat di tempat mandi, dia akan mengetahui bahwa shalat di WC lebih utama lagi pelarangannya. Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkomentar tentang masalah ini, Tidak ada nash yang khusus (yakni larangan shalat di dalamnya) dalam W, karena masalahnya sangat jelas bagi kaum muslimin bahwa hal itu tidak memerlukan dalil (lagi).’ (Majmu Fatawa, 25/240)
6. Kandang Onta
Kalau shalat dilarang di kamar mandi, maka larangan shalat di tempat buang air (WC) yaitu tempat membuang kotoran, lebih utama lagi. Tidak adanya (dalil tentang) larangan shalat di WC, karena bagi setiap orang berakal, apabila mendengar Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang shalat di tempat mandi, dia akan mengetahui bahwa shalat di WC lebih utama lagi pelarangannya. Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkomentar tentang masalah ini, Tidak ada nash yang khusus (yakni larangan shalat di dalamnya) dalam W, karena masalahnya sangat jelas bagi kaum muslimin bahwa hal itu tidak memerlukan dalil (lagi).’ (Majmu Fatawa, 25/240)
6. Kandang Onta
Yaitu dikumpulkannya onta, termasuk juga tempat berkumpulnya setelah
mengeluarkan air. Illat (sebab) larangannya adalah bahwa kandang onta
adalah tempat tinggal para setan, dan kalau ontanya berada di dalam,
maka (dapat) mengganggu orang yang shalat dan menghalangi kesempurnaan
khusyu karena khawatir dari gangguannya.
7. Di atas (bangunan) Ka’bah
7. Di atas (bangunan) Ka’bah
Para ulama melarang hal tersebut, karena tidak dapat menghadap kiblat,
akan tetapi hanya menghadap sebagiannya (saja) karena sebagian Ka’bah
berada di belakang punggungnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat sah
shalat di atas Ka’bah. Karena telah ada ketetapan bahwa Nabi sallallahu
alaihi wa sallam shalat di dalam Ka’bah waktu penaklukan Mekkah. Maka
shalat di atasnya (hukumnya) seperti itu juga. Realitanya sekarang,
shalat di atas Ka’bah sekarang tidak mudah.
8. Tanah yang dirampas dari pemiliknya.
Barangsiapa merampas tanah dari pemiliknya, diharamkan shalat di
dalamnya menuruk kesepakatan (ijma) para ulama. Imam Nawawi rahimahullah
berkata di kitab Al-Majmu, 3/169, ‘Shalat di tanah yang dipakai tanpa
seizin pemiliknya adalah haram menurut ijma’ (konsensus para ulama).’
WAKTU YANG TERLARANG UNTUK SHOLAT
Sesungguhnya ibadah bersifat tauqifiyyah, tidak
diketahui kecuali dengan bimbingan wahyu. Tidak sah kecuali sesuai dengan
petunjuk dari pemilik syari’ah yang meliputi jenisnya, jumlahnya, tata cara
pelaksanaannya, serta tempat dan waktu. Sedangkan shalat termasuk salah satu
dari ibadah tersebut. Bahkan, tehitung sebagai amal yang paling dicintai Allah 'Azza
wa Jalla. Karenanya aturan waktunya perlu diperhatikan.
Ada beberapa waktu yang dilarang shalat di dalamnya,
baik larangan tersebut terhitung sebagai haram atau makruh. Karenanya setiap
muslim wajib mengetahui waktu-waktu tersebut sehingga dia tidak shalat pada
waktu-waktu yang dilarang.
Secara ringkas, waktu-waktu yang dilarang shalat di
dalamnya ada tiga. Yaitu:
- Setelah shalat shubuh sehingga matahari naik setinggi tombak.
- Setelah shalat Ashar sehingga matahari terbenam.
- Ketika matahari di tengah-tengah sehingga tergelincir ke barat.
Dan kalau
dirinci dan diperluas maka ada lima. Yaitu:
- Setelah shubuh sampai terbitnya matahari.
- Setelah ‘Ashar sampai matahari menguning (hamper tenggelam).
- Ketika matahari di tengah-tengah sampai bertegelincir (± 10 menit sebelum adzan)
- Sejak terbitnya matahari sampai naik setinggi tombak (± 12 menit sebelum adzan)
- Sejak menguningnya matahari sehingga benar-benar tenggelam.
Waktu-waktu
terlarang di atas didasarkan kepada beberapa dalil berikut ini:
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata,
“Beberapa orang yang aku percaya dan dipercaya oleh Umar bersaksi bahwa Nabi shallallaahu
'alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh sehingga matahari terbit
dan sesudah ‘Ashar sehingga matahari tenggelam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata,
Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak
ada shalat sesudah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat sesudah
‘Ashar hingga matahari tenggelam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits Ibnu Umar radhiyallaahu
'anhuma, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila
terbit matahari, maka akhirkan shalat sehingga matahari meninggi. Dan apabila
matahari mulai tenggelam sehingga benar-benar menghilang.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu 'anhu,
ia berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami
mengerjakan shalat atau menguburkan mayat kami pada tiga waktu: Ketika matahari
terbit hingga naik, saat tengah hari sehingga matahari tergelincir, dan ketika
matahari akan tenggelam sehingga tenggelam.” (HR. Muslim)
Alasan dari
larangan
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan
alasan dilarangnya shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan sabdanya kepada
Amr bin ‘Abasah al-Sulami:
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ
بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ
فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ
بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ
فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ
حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ
الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ
لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakan shalat Shubuh, kemudian jangan
kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi. Karena (saat itu) matahari
terbit di antara dua tanduk syetan dan saat itu pula orang-orang kafir bersujud
kepadanya. Setelah itu silahkan mengerjakan shalat (sunnah) karena shalat itu
disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga bayangan tegak lurus (tengah
hari). (Saat itu) jangan kerjakan shalat, karena neraka sedang dinyalakan. Jika
bayangan telah condong, silahkan kerjakan shalat karena shalat disaksikan dan
dihadiri (oleh Malaikat) sehingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Sesudah itu
janganlah engkau mengerjakan shalat hingga matahari terbenam. Sesungguhnya
matahari terbenam di antara dua tanduk syetan dan ketika itu orang-orang kafir
bersujud kepadanya.” (HR. Muslim)
Hukum shalat
di dalamnya
Pada waktu-waktu tersebut, apakah sama sekali tidak
boleh mengerjakan shalat? Menurut Syaikh Abdurrahman al-Sahim dalam tulisan
beliau, Al-Shalatu fi Auqat al-Nahyi, pada saat sesudah Shubuh dan
sesudah 'Ashar dibolehkan shalat-shalat yang memiliki sebab. Sedangkan untuk
shalat sunnah rawatib tidak dibolehkan kecuali untuk melaksanakan shalat sunnah
Fajar.
Sedangkan pada ketiga waktu –pada saat matahari
terbit, tenggelam, dan di tengah-tengah- sama sekali tidak boleh kecuali shalat
tengah hari pada hari Jum’at. Karena pada saat itu dianjurkan untuk mengerjakan
shalat sunnah mutlak sebelum dilangsungkannya shalat Jum’at hingga imam keluar
(untuk naik mimbar).
Larangan pada ketiga waktu tersebut lebih ketat karena
waktu-waktu tersebut sangat sempit atau sebentar. Shalat di dalamnya menyerupai
ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang menyembah matahari.
Sesungguhnya
ibadah bersifat tauqifiyyah, tidak diketahui kecuali dengan bimbingan
wahyu. Tidak sah kecuali sesuai dengan petunjuk dari pemilik syari’ah
yang meliputi jenisnya, jumlahnya, tata cara pelaksanaannya, serta
tempat dan waktu. Sedangkan shalat termasuk salah satu dari ibadah
tersebut. Bahkan, tehitung sebagai amal yang paling dicintai Allah 'Azza wa Jalla. Karenanya aturan waktunya perlu diperhatikan.
Ada
beberapa waktu yang dilarang shalat di dalamnya, baik larangan tersebut
terhitung sebagai haram atau makruh. Karenanya setiap muslim wajib
mengetahui waktu-waktu tersebut sehingga dia tidak shalat pada
waktu-waktu yang dilarang.
Secara ringkas, waktu-waktu yang dilarang shalat di dalamnya ada tiga. Yaitu:
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata, “Beberapa orang yang aku percaya dan dipercaya oleh Umar bersaksi bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh sehingga matahari terbit dan sesudah ‘Ashar sehingga matahari tenggelam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada shalat sesudah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari tenggelam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila terbit matahari, maka akhirkan shalat sehingga matahari meninggi. Dan apabila matahari mulai tenggelam sehingga benar-benar menghilang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami mengerjakan shalat atau menguburkan mayat kami pada tiga waktu: Ketika matahari terbit hingga naik, saat tengah hari sehingga matahari tergelincir, dan ketika matahari akan tenggelam sehingga tenggelam.” (HR. Muslim)
Alasan dari larangan
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan dilarangnya shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan sabdanya kepada Amr bin ‘Abasah al-Sulami:
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakan shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi. Karena (saat itu) matahari terbit di antara dua tanduk syetan dan saat itu pula orang-orang kafir bersujud kepadanya. Setelah itu silahkan mengerjakan shalat (sunnah) karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga bayangan tegak lurus (tengah hari). (Saat itu) jangan kerjakan shalat, karena neraka sedang dinyalakan. Jika bayangan telah condong, silahkan kerjakan shalat karena shalat disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Sesudah itu janganlah engkau mengerjakan shalat hingga matahari terbenam. Sesungguhnya matahari terbenam di antara dua tanduk syetan dan ketika itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.” (HR. Muslim)
Hukum shalat di dalamnya
Pada waktu-waktu tersebut, apakah sama sekali tidak boleh mengerjakan shalat? Menurut Syaikh Abdurrahman al-Sahim dalam tulisan beliau, Al-Shalatu fi Auqat al-Nahyi, pada saat sesudah Shubuh dan sesudah 'Ashar dibolehkan shalat-shalat yang memiliki sebab. Sedangkan untuk shalat sunnah rawatib tidak dibolehkan kecuali untuk melaksanakan shalat sunnah Fajar.
Sedangkan pada ketiga waktu –pada saat matahari terbit, tenggelam, dan di tengah-tengah- sama sekali tidak boleh kecuali shalat tengah hari pada hari Jum’at. Karena pada saat itu dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunnah mutlak sebelum dilangsungkannya shalat Jum’at hingga imam keluar (untuk naik mimbar).
Larangan pada ketiga waktu tersebut lebih ketat karena waktu-waktu tersebut sangat sempit atau sebentar. Shalat di dalamnya menyerupai ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang menyembah matahari.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2010/11/27/12003/waktuwaktu-yang-dilarang-mengerjakan-shalat/;#sthash.cjAL74uS.dpuf
Secara ringkas, waktu-waktu yang dilarang shalat di dalamnya ada tiga. Yaitu:
- Setelah shalat shubuh sehingga matahari naik setinggi tombak.
- Setelah shalat Ashar sehingga matahari terbenam.
- Ketika matahari di tengah-tengah sehingga tergelincir ke barat.
- Setelah shubuh sampai terbitnya matahari.
- Setelah ‘Ashar sampai matahari menguning (hamper tenggelam).
- Ketika matahari di tengah-tengah sampai bertegelincir (± 10 menit sebelum adzan)
- Sejak terbitnya matahari sampai naik setinggi tombak (± 12 menit sebelum adzan)
- Sejak menguningnya matahari sehingga benar-benar tenggelam.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata, “Beberapa orang yang aku percaya dan dipercaya oleh Umar bersaksi bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh sehingga matahari terbit dan sesudah ‘Ashar sehingga matahari tenggelam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada shalat sesudah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari tenggelam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila terbit matahari, maka akhirkan shalat sehingga matahari meninggi. Dan apabila matahari mulai tenggelam sehingga benar-benar menghilang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami mengerjakan shalat atau menguburkan mayat kami pada tiga waktu: Ketika matahari terbit hingga naik, saat tengah hari sehingga matahari tergelincir, dan ketika matahari akan tenggelam sehingga tenggelam.” (HR. Muslim)
Alasan dari larangan
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan dilarangnya shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan sabdanya kepada Amr bin ‘Abasah al-Sulami:
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakan shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi. Karena (saat itu) matahari terbit di antara dua tanduk syetan dan saat itu pula orang-orang kafir bersujud kepadanya. Setelah itu silahkan mengerjakan shalat (sunnah) karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga bayangan tegak lurus (tengah hari). (Saat itu) jangan kerjakan shalat, karena neraka sedang dinyalakan. Jika bayangan telah condong, silahkan kerjakan shalat karena shalat disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Sesudah itu janganlah engkau mengerjakan shalat hingga matahari terbenam. Sesungguhnya matahari terbenam di antara dua tanduk syetan dan ketika itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.” (HR. Muslim)
Hukum shalat di dalamnya
Pada waktu-waktu tersebut, apakah sama sekali tidak boleh mengerjakan shalat? Menurut Syaikh Abdurrahman al-Sahim dalam tulisan beliau, Al-Shalatu fi Auqat al-Nahyi, pada saat sesudah Shubuh dan sesudah 'Ashar dibolehkan shalat-shalat yang memiliki sebab. Sedangkan untuk shalat sunnah rawatib tidak dibolehkan kecuali untuk melaksanakan shalat sunnah Fajar.
Sedangkan pada ketiga waktu –pada saat matahari terbit, tenggelam, dan di tengah-tengah- sama sekali tidak boleh kecuali shalat tengah hari pada hari Jum’at. Karena pada saat itu dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunnah mutlak sebelum dilangsungkannya shalat Jum’at hingga imam keluar (untuk naik mimbar).
Larangan pada ketiga waktu tersebut lebih ketat karena waktu-waktu tersebut sangat sempit atau sebentar. Shalat di dalamnya menyerupai ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang menyembah matahari.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2010/11/27/12003/waktuwaktu-yang-dilarang-mengerjakan-shalat/;#sthash.cjAL74uS.dpuf
HUKUM SHOLAT DI DALAM GEREJA
Seluruh Bumi adalah Masjid
Syaikh DR Yusuf Al Qaradhawi, dalam Fatawa Mu’ashirah menyitir hadits:
أَخْبَرَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ …
Jabir bin ‘Abdullah berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun dari Nabi-Nabi sebelumku: aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sepanjang sebulan perjalanan, bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud dan suci; maka dimana saja seorang laki-laki dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat…” (HR. Bukhari – Muslim)
Dari hadits ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seluruh bumi merupakan masjid bagi seorang Muslim. Maka baginya boleh melaksanakan shalat disitu. Meskipun lebih afdhalnya mencari tempat yang lebih baik (masjid/mushalla). Tapi apabila dia tidak menemukan tempat untuk shalat kecuali tempat-tempat tersebut maka sesungguhnya seluruh bumi adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merupakan masjid bagi setiap Muslim.
Gereja yang Bebas dari Simbol Kesyirikan
Imam Al Bukhari telah membuat bab dalam kitab Shahih-nya, Bab Shalat di Gereja. Dan Umar Radhiallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya kami tidak masuk ke gereja kamu semua karena ada patung yang dimana di dalamnya ada gambar-gambar.” Dahulu Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma melaksanakan shalat di geraja kecuali kalau di gereja tersebut ada patung.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Perkataan ‘Bab Shalat di dalam Gereja’ kata al biya’ah adalah tempat ibadahnya orang Kristen. Pemilik kitab Al Muhkam, al bi’ah adalah tempat ibadahnya pendeta. Dikatakan ia adalah geraje orang kresten. Yang kedua adalah yang dijadikan patokan. Yang termasuk dalam hukum al bii’ah adalah gereja, rumah pendeta, sinagog, rumah patung, rumah api dan semisalnya.”
Syaikh DR Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu mengatakan seperti itu karena dia takut akan perkara ini, yakni tidak ada seorang Muslimin pun yang akan datang shalat di gereja tersebut, bukan karena gereja tersebut (haram untuk dijadikan tempat shalat).
Fuqaha Hanafiyah menyatakan bahwa makruh hukumnya seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir karena tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya syetan bukan karena seorang muslim tidak punya hak untuk memasukinya. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 5/248)
Sedangkan fuqaha Malikiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa seorang muslim diperbolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lainnya. Sedangkan sebahagian yang lainnya mensaratkan harus ada izin dari mereka yang menggunakan tempat tersebut. (Kasyful Qana’ 1/294, Hasyiyatul Jamal 3/572)
Gereja yang Memiliki dari Simbol Kesyirikan
Kalau didalamnya ada gambar atau patung, para ahli fiqih berbeda pendapat terkait hukum shalat di dalamnya. Sebagian berpendapat diharamkan. Mayoritas (jumhur) berpendapat dimakruhkan. Landasan diharamkan adalah keumuman dalil yang menunjukkan akan keharaman gambar dan kepemilikannya. Karena adanya gambar ini termasuk mencegah masuknya para malaikat.
Telah diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3225 dan Muslim, 2106 dari Abu Thalhah sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ )
“Para malaikat tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada anjing dan ada gambar.”Diriwayatkan oleh Tirmizi, 2806 dan Abu Dawud, 4158 dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah sallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( أَتَانِي جِبْرِيلُ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ أَتَيْتُكَ
الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَكُونَ دَخَلْتُ عَلَيْكَ الْبَيْتَ
الَّذِي كُنْتَ فِيهِ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فِي بَابِ الْبَيْتِ تِمْثَالُ
الرِّجَالِ وَكَانَ فِي الْبَيْتِ قِرَامُ سِتْرٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ
وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي
بِالْبَابِ فَلْيُقْطَعْ فَلْيُصَيَّرْ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ وَمُرْ
بِالسِّتْرِ فَلْيُقْطَعْ وَيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ
مُنْتَبَذَتَيْنِ يُوطَآَنِ وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَيُخْرَجْ فَفَعَلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ ذَلِكَ
الْكَلْبُ جَرْوًا لِلْحَسَنِ أَوْ الْحُسَيْنِ تَحْتَ نَضَدٍ لَهُ
فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ ). والحديث صححه الألباني في صحيح الجامع برقم 68
“Jibril telah datang kepadaku dan berkata, sesungguhnya saya telah
datang kepadamu semalam. Dan tidak ada yang menghalangiku masuk ke dalam
rumah dimana anda berada melainkan di pintu rumah ada patung seseorang.
Di dalam rumah ada pembatas kain terdapat gambar. Dan di rumah ada
anjing. Maka diperintahkan kepala patung untuk dipotong dan dijadikan
seperti pohon. Diperintahkan kain pembatas untuk dipotong dan dijadikan
kain tempat bantal tidur yang diinjak. Dan diperintahkan anjing untuk
dikeluarkan. Dan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam laksanakan
semuanya. Maka anjing itu adalah mainan tiga persegi kepunyaan Hasan
atau Husain di bawah tumpukan barang, maka diperintahkan dan
dikeluarkannya.’ (Shahih Al Jami’ no. 68)Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Tidak mengapa shalat di gereja yang bersih. Yang memberi keringanan hal itu adalah Hasan, Umar bin Abdul Aziz, Asy Sya’bi, Al Auza’i, Said bin Abdul Aziz, diriwayatkan juga dari Umar dan Abu Musa. Sementara yang memakruhkan adalah Ibnu Abbas dan Malik di dalam gereja dikarenakan ada gambarnya. Bagi kami bahwa Nabi Sallallahu’alaihi Wa Sallam shalat dalam Ka’bah dan di dalamnya ada gambar, kemudian ia termasuk dalam sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
( فأينما أدركتك الصلاة فصل , فإنه مسجد ) ” انتهى من “المغني” (1/ 407).
“Dimana saja anda dapatkan shalat, maka shalatlah. Karena ia adalah masjid.” (‘Al-Mugni, 1/407)Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi mengatakan, “Jika simbol-simbol syirik yang ada di sini sudah dihilangkam maka tidak mengapa mengerjakan shalat di sana. Berhala Latta dahulu posisinya ada di masjid Thaif saat ini. Tatkala berhala Latta sudah disingkirkan Nabi bangun masjid tempat shalat di tempat tersebut”
Ibnu Muflih mengatakan, “Boleh masuk dan shalat di tempat peribadatan dan gereja atau yang semacamnya. Dan makruh jika di dalamnya ada gambarnya. Ada yang mengatakan haram mutlak. Penulis Al Mustau’ib mengatakan, Sah melaksanakan shalat fardhu di gereja atau tempat peribadatan orang kafir meskipun makruh.”
Diantara orang yang berpendapat haramnya shalat dalam gereja kalau di dalamnya ada gambar adalah Syiikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dapat dilihat di ‘Al Fatawa Al Kubro, 2/59.
Pengharaman shalat dalam gereja tidak berimplikasi batalnya shalat. Bahkan shalatnya sah tapi berdosa. Karena larangan shalat di dalamnya tidak terkait dengan shalat, akan tetapi karena didalamnya ada gambar sebagaimana yang lalu. Maka sebab larangan berbeda dengan shalat dan apa yang terkait dengannya.
Al Lajnah Ad Daimah telah memberikan fatwa dan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dengan memakruhkan shalat di tempat yang di dalamnya ada gambar, dan shalatnya sah kalau itu terjadi. Dalam ‘Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/377 dalam kumpulan (fatwa) kedua: “Apa hukum shalat di rumah –kamar- di dalamnya ada gambar atau patung untuk hiasan yaitu hewan atau manusia?
Jawabannya, diharamkan memiliki gambar dan patung dan menjadikan di dalam rumah. Berdasarkan Sabda Sallallahu ’Alaihi wa Sallam kepada Ali Radhiallahu ’Anhu,
( لا تدع صورة إلا طمستها ولا قبرا مشرفا إلا سويته )
“Janganlah engkau tinggalkan gambar melainkan engkau hapus, dan tidak juga kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan.”Dan sabdanya Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam: “Para Malaikat tidak akan masuk rumah di dalamnya ada anjing dan gambar.” Dan dimakruhkan shalat di kamar yang ada gambar digantungkan atau ditegakkan. Apalagi kalau ke arah kiblat dan shalatnya sah.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Sementara shalatnya adalah sah, akan tetapi dimakruhkan shalat di tempat yang ada didalamnya gambar, kecuali dalam kondisi ada keperluan, kalau sekiranya tidak ada tempat lain, maka tidak mengapa.”
Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Khalifah Umar Radhiyallahu Anhu mendapatkan surat dari penduduk Najran perihal hukum shalat di gereja, karena mereka tidak mendapatkan tempat yang lebih bersih dan lebih baik darinya. Maka Umar berkata: “Bersihkanlah ia dengan air dan daun gaharu dan shalatlah di dalamnya.”
Namun demikian sejumlah fuqaha Hanafiyah dan Asy Syafi’yah menyatakan bahwa melaksanakan shalat di dalam gereja hukumnya makruh. Baik gereja tersebut dipenuhi oleh patung ataupun tidak.
Gereja Saat Sedang Digunakan
Sedangkan hukum memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka adalah haram.
Alasan pengharamannya jelas sekali, yaitu kita dilarang ikut dalam peribadatan agama lain. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan hal ini dalam Al Quran Al Karim.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ وَلاَ أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun : 1-6)
Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka.” (Al Adab Asy Syar’iyyah 3/442).
Tindakan ini menyerupai ciri khas orang kafir, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum (dalam ciri khas mereka, pen.) maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits ini, kondisi minimalnya menunjukkan haramnya meniru ciri khas orang kafir. Meskipun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang meniru perbuatan yang menjadi ciri khas mereka.” (Iqtidla’ Ash Shirath Al Mustaqim, 1:270).
Sesungguhnya
ibadah bersifat tauqifiyyah, tidak diketahui kecuali dengan bimbingan
wahyu. Tidak sah kecuali sesuai dengan petunjuk dari pemilik syari’ah
yang meliputi jenisnya, jumlahnya, tata cara pelaksanaannya, serta
tempat dan waktu. Sedangkan shalat termasuk salah satu dari ibadah
tersebut. Bahkan, tehitung sebagai amal yang paling dicintai Allah 'Azza wa Jalla. Karenanya aturan waktunya perlu diperhatikan.
Ada beberapa waktu yang dilarang shalat di dalamnya, baik larangan tersebut terhitung sebagai haram atau makruh. Karenanya setiap muslim wajib mengetahui waktu-waktu tersebut sehingga dia tidak shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Secara ringkas, waktu-waktu yang dilarang shalat di dalamnya ada tiga. Yaitu:
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata, “Beberapa orang yang aku percaya dan dipercaya oleh Umar bersaksi bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh sehingga matahari terbit dan sesudah ‘Ashar sehingga matahari tenggelam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada shalat sesudah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari tenggelam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila terbit matahari, maka akhirkan shalat sehingga matahari meninggi. Dan apabila matahari mulai tenggelam sehingga benar-benar menghilang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami mengerjakan shalat atau menguburkan mayat kami pada tiga waktu: Ketika matahari terbit hingga naik, saat tengah hari sehingga matahari tergelincir, dan ketika matahari akan tenggelam sehingga tenggelam.” (HR. Muslim)
Alasan dari larangan
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan dilarangnya shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan sabdanya kepada Amr bin ‘Abasah al-Sulami:
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakan shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi. Karena (saat itu) matahari terbit di antara dua tanduk syetan dan saat itu pula orang-orang kafir bersujud kepadanya. Setelah itu silahkan mengerjakan shalat (sunnah) karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga bayangan tegak lurus (tengah hari). (Saat itu) jangan kerjakan shalat, karena neraka sedang dinyalakan. Jika bayangan telah condong, silahkan kerjakan shalat karena shalat disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Sesudah itu janganlah engkau mengerjakan shalat hingga matahari terbenam. Sesungguhnya matahari terbenam di antara dua tanduk syetan dan ketika itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.” (HR. Muslim)
Hukum shalat di dalamnya
Pada waktu-waktu tersebut, apakah sama sekali tidak boleh mengerjakan shalat? Menurut Syaikh Abdurrahman al-Sahim dalam tulisan beliau, Al-Shalatu fi Auqat al-Nahyi, pada saat sesudah Shubuh dan sesudah 'Ashar dibolehkan shalat-shalat yang memiliki sebab. Sedangkan untuk shalat sunnah rawatib tidak dibolehkan kecuali untuk melaksanakan shalat sunnah Fajar.
Sedangkan pada ketiga waktu –pada saat matahari terbit, tenggelam, dan di tengah-tengah- sama sekali tidak boleh kecuali shalat tengah hari pada hari Jum’at. Karena pada saat itu dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunnah mutlak sebelum dilangsungkannya shalat Jum’at hingga imam keluar (untuk naik mimbar).
Larangan pada ketiga waktu tersebut lebih ketat karena waktu-waktu tersebut sangat sempit atau sebentar. Shalat di dalamnya menyerupai ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang menyembah matahari.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2010/11/27/12003/waktuwaktu-yang-dilarang-mengerjakan-shalat/;#sthash.cjAL74uS.dpuf
Ada beberapa waktu yang dilarang shalat di dalamnya, baik larangan tersebut terhitung sebagai haram atau makruh. Karenanya setiap muslim wajib mengetahui waktu-waktu tersebut sehingga dia tidak shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Secara ringkas, waktu-waktu yang dilarang shalat di dalamnya ada tiga. Yaitu:
- Setelah shalat shubuh sehingga matahari naik setinggi tombak.
- Setelah shalat Ashar sehingga matahari terbenam.
- Ketika matahari di tengah-tengah sehingga tergelincir ke barat.
- Setelah shubuh sampai terbitnya matahari.
- Setelah ‘Ashar sampai matahari menguning (hamper tenggelam).
- Ketika matahari di tengah-tengah sampai bertegelincir (± 10 menit sebelum adzan)
- Sejak terbitnya matahari sampai naik setinggi tombak (± 12 menit sebelum adzan)
- Sejak menguningnya matahari sehingga benar-benar tenggelam.
- Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata, “Beberapa orang yang aku percaya dan dipercaya oleh Umar bersaksi bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh sehingga matahari terbit dan sesudah ‘Ashar sehingga matahari tenggelam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada shalat sesudah Shubuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari tenggelam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits Ibnu Umar radhiyallaahu 'anhuma, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila terbit matahari, maka akhirkan shalat sehingga matahari meninggi. Dan apabila matahari mulai tenggelam sehingga benar-benar menghilang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melarang kami mengerjakan shalat atau menguburkan mayat kami pada tiga waktu: Ketika matahari terbit hingga naik, saat tengah hari sehingga matahari tergelincir, dan ketika matahari akan tenggelam sehingga tenggelam.” (HR. Muslim)
Alasan dari larangan
Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan dilarangnya shalat pada waktu-waktu tersebut berdasarkan sabdanya kepada Amr bin ‘Abasah al-Sulami:
صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنْ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakan shalat Shubuh, kemudian jangan kerjakan shalat hingga matahari terbit dan meninggi. Karena (saat itu) matahari terbit di antara dua tanduk syetan dan saat itu pula orang-orang kafir bersujud kepadanya. Setelah itu silahkan mengerjakan shalat (sunnah) karena shalat itu disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga bayangan tegak lurus (tengah hari). (Saat itu) jangan kerjakan shalat, karena neraka sedang dinyalakan. Jika bayangan telah condong, silahkan kerjakan shalat karena shalat disaksikan dan dihadiri (oleh Malaikat) sehingga engkau mengerjakan shalat ‘Ashar. Sesudah itu janganlah engkau mengerjakan shalat hingga matahari terbenam. Sesungguhnya matahari terbenam di antara dua tanduk syetan dan ketika itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.” (HR. Muslim)
Hukum shalat di dalamnya
Pada waktu-waktu tersebut, apakah sama sekali tidak boleh mengerjakan shalat? Menurut Syaikh Abdurrahman al-Sahim dalam tulisan beliau, Al-Shalatu fi Auqat al-Nahyi, pada saat sesudah Shubuh dan sesudah 'Ashar dibolehkan shalat-shalat yang memiliki sebab. Sedangkan untuk shalat sunnah rawatib tidak dibolehkan kecuali untuk melaksanakan shalat sunnah Fajar.
Sedangkan pada ketiga waktu –pada saat matahari terbit, tenggelam, dan di tengah-tengah- sama sekali tidak boleh kecuali shalat tengah hari pada hari Jum’at. Karena pada saat itu dianjurkan untuk mengerjakan shalat sunnah mutlak sebelum dilangsungkannya shalat Jum’at hingga imam keluar (untuk naik mimbar).
Larangan pada ketiga waktu tersebut lebih ketat karena waktu-waktu tersebut sangat sempit atau sebentar. Shalat di dalamnya menyerupai ibadah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang menyembah matahari.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/konsultasi-agama/2010/11/27/12003/waktuwaktu-yang-dilarang-mengerjakan-shalat/;#sthash.cjAL74uS.dpuf
Sumber : islamqa.info, nu.or.id, voa.islam.com.
0 Comment "TEMPAT DAN WAKTU YANG DILARANG UNTUK SHOLAT"
Post a Comment